Senin, 02 Juni 2014

HEPATITIS B (MAKALAH)

MAKALAH HEPATITIS B


BAB I
PENDAHULUAN


A.  PENGERTIAN HEPATITIS B
Hepatitis B adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh Virus Hepatitis B (VHB), anggota famili Hepadnavirus yang dapat menyebabkan peradangan hati akut atau menahun yang pada sebagian kecil kasus dapat berlanjut menjadi sirosi hati atau kanker hati. Pengobatan hepatitis B semakin lama semakin dikembangkan oleh berbagai Negara dan menjadi salah satu perhatian badan kesehatan dunia WHO.
Penyebab Hepatitis ternyata bukan hanya semata-mata virus. Keracunan obat, dan paparan berbagai macam zat kimia seperti karbon tetraklorida, chlorpromazine, chloroform, arsen, fosfor, dan zat-zat lain yang digunakan sebagai obat dalam industri modern, bisa juga menyebabkan Hepatitis. Zat-zat kimia ini mungkin saja tertelan, terhirup atau diserap melalui kulit penderita. Menetralkan racun yang beredar di dalam darah adalah pekerjaan hati. Jika banyak sekali zat kimia beracun yang masuk ke dalam tubuh, hati bisa saja rusak sehingga tidak dapat lagi menetralkan racun-racun lain.
Virus Hepatitis B mengganggu fungsi hati dan mengaktifkan sistem kekebalan tubuh, yang menghasilkan reaksi spesifik untuk memerangi virus. Sebagai konsekuensi dari kerusakan patologis, hati menjadi meradang. Sebagian kecil orang yang terinfeksi tidak dapat menyingkirkan virus dan menjadi infeksi kronis. Jika ada orang yang sedang menjalani pengobatan hepatitis B dalam keadaan seperti ini, patut diwaspadai karena orang-orang ini berisiko tinggi kematian akibat sirosis hati dan kanker hati.
Apabila seseorang terinfeksi virus hepatitis B akut maka tubuh akan memberikan tanggapan kekebalan (immune response). Ada 3 kemungkinan tanggapan kekebalan yang diberikan oleh tubuh terhadap virus hepatitis B pasca periode akut. Kemungkinan pertama, jika tanggapan kekebalan tubuh adekuat maka akan terjadi pembersihan virus, pasien sembuh. Kedua, jika tanggapan kekebalan tubuh lemah maka pasien tersebut akan menjadi carrier inaktif. Ke tiga, jika tanggapan tubuh bersifat intermediate (antara dua hal di atas) maka penyakit terus berkembang menjadi hepatitis B kronis.
Pada kemungkinan pertama, tubuh mampu memberikan tanggapan adekuat terhadap virus hepatitis B (VHB), akan terjadi 4 stadium siklus VHB, yaitu fase replikasi (stadium 1 dan 2) dan fase integratif (stadium 3 dan 4). Pada fase replikasi kadar HBsAg (hepatitis B surface antigen), HBV DNA, HBeAg (hepatitis Be antigen), AST (aspartate aminotransferase) dan ALT (alanine aminotransferase) serum akan meningkat, sedangkan kadar anti-HBs dan anti Hbe masih negatif. Pada fase integratif (khususnya stadium4) keadaan sebaliknya terjadi, HBsAg, HBV DNA, HBeAg dan ALT/AST menjadi negatif/normal, sedangkan antibodi terhadap antigen yaitu : anti HBs dan anti HBe menjadi positif (serokonversi). Keadaan demikian banyak ditemukan pada penderita hepatitis B yang terinfeksi pada usia dewasa di mana sekitar 95-97% infeksi hepatitis B akut akan sembuh karena imunitas tubuh dapat memberikan tanggapan adekuat.
Sebaliknya 3-5% penderita dewasa dan 95% neonatus dengan sistem imunitas imatur serta 30% anak usia kurang dari 6 tahun masuk ke kemungkinan ke dua dan ke tiga; akan gagal memberikan tanggapan imun yang adekuat sehingga terjadi infeksi hepatitis B persisten, dapat bersifat carrier inaktif atau menjadi hepatitis B kronis.

B.       DIAGNOSIS DAN EVALUASI PASIEN HEPATITIS B KRONIS
Hepatitis B kronis merupakan penyakit nekroinflamasi kronis hati yang disebabkan oleh infeksi virus hepatitis B persisten. Hepatitis B kronis ditandai dengan HBsAg positif (> 6 bulan) di dalam serum, tingginya kadar HBV DNA dan berlangsungnya proses nekroinflamasi kronis hati. Carrier HBsAg inaktif diartikan sebagai infeksi HBV persisten hati tanpa nekroinflamasi. Sedangkan hepatitis B kronis eksaserbasi adalah keadaan klinis yang ditandai dengan peningkatan intermiten ALT>105 kali batas atas nilai normal (BANN). Diagnosis infeksi hepatitis B kronis didasarkan pada pemeriksaan serologi, petanda virologi, biokimiawi dan histologi. Secara serologi pemeriksaan yang dianjurkan untuk diagnosis dan evaluasi infeksi hepatitis B kronis adalah : HBsAg, HBeAg, anti HBe dan HBV DNA.
Adanya HBsAg dalam serum merupakan petanda serologis infeksi hepatitis B. Titer HBsAg yang masih positif lebih dari 6 bulan menunjukkan infeksi hepatitis kronis. Munculnya antibodi terhadap HBsAg (anti HBs) menunjukkan imunitas dan atau penyembuhan proses infeksi. Adanya HBeAg dalam serum mengindikasikan adanya replikasi aktif virus di dalam hepatosit. Titer HbeAg berkorelasi dengan kadar HBV DNA.
Namun tidak adanya HBeAg (negatif) bukan berarti tidak adanya replikasi virus. keadaan ini dapat dijumpai pada penderita terinfeksi HBV yang mengalami mutasi (precore atau core mutant). Penelitian menunjukkan bahwa pada seseorang HbeAg negatif ternyata memiliki HBV DNA > 105.
Pasien hepatitis kronis B dengan HBeAg negatif yang banyak terjadi di Asia dan Mediteranea umumnya mempunyai kadar HBV DNA lebih rendah (berkisar 104 -108 copies/ml) dibandingkan dengan tipe HBeAg positif. Pada jenis ini meskipun HbeAg negatif, remisi dan prognosis relatif jelek, sehingga perlu diterapi (4-8).

·      Pasien HBeAg positif dan HBV DNA > 105 copies/ml dan kadar ALT normal :
1. Pemeriksaan ALT setiap 3 6 bulan
2. Bila ALT > 1-2 x BANN, periksa ulang setiap 1-3 bulan
3. Bila ALT > 2 x BANN selama 3-6 bulan, pertimbangkan biopsi dan terapi
4. Pertimbangkan untuk skrining karsinoma hepatoselular

·      Pasien carrier HBsAg inaktif :
1. Pemeriksaan ALT setiap 6 12 bulan
2. Bila ALT > 1-2 x BANN, periksa HBV DNA dan singkirkan penyebab penyakit hati lainnya
3. Pertimbangkan untuk skrining karsinoma hepatoselular
Keterangan: BANN (Batas Atas Nilai Normal)
Salah satu pemeriksaan biokimiawi yang penting untuk menentukan keputusan terapi adalah kadar ALT. Peningkatan kadar ALT menggambarkan adanya aktifitas nekroinflamasi. Oleh karena itu pemeriksaan ini dipertimbangkan sebagai prediksi gambaran histologi. Pasien dengan kadar ALT yang meningkat menunjukkan proses nekroinflamasi lebih berat dibandingkan pada ALT yang normal. Pasien dengan kadar ALT normal memiliki respon serologi yang kurang baik pada terapi antiviral. Oleh sebab itu pasien dengan kadar ALT normal dipertimbangkan untuk tidak diterapi, kecuali bila hasil pemeriksaan histologi menunjukkan proses nekroinflamasi aktif(4,5,10).
Tujuan pemeriksaan histologi adalah untuk menilai tingkat kerusakan hati, menyisihkan diagnosis penyakit hati lain, prognosis dan menentukan manajemen anti viral. Ukuran spesimen biopsi yang representatif adalah 1-3 cm (ukuran panjang) dan 1,2-2 mm (ukuran diameter) baik menggunakan jarum Menghini atau Tru-cut. Salah satu metode penilaian biopsi yang sering digunakan adalah dengan Histologic Activity index score.

  

BAB II
PEMBAHASAN

A.  PENGOBATAN HEPATITIS B KRONIS
Tujuan terapi hepatitis B kronis adalah untuk mengeliminasi secara bermakna replikasi VHB dan mencegah progresi penyakit hati menjadi sirosis yang berpotensial menuju gagal hati, dan mencegah karsinoma hepatoselular. Sasaran pengobatan adalah menurunkan kadar HBV DNA serendah mungkin, serokonversi HBeAg dan normalisasi kadar ALT. Sasaran sebenarnya adalah menghilangnya HBsAg, namun sampai saat ini keberhasilannya hanya berkisar 1-5%, sehingga sasaran tersebut tidak digunakan.

Ada beberapa obat yang digunakan untuk mengobati hepatitis B antara lain :
1.    INTERFERON
Interferon tidak memiliki khasiat antivirus langsung tetapi merangsang terbentuknya berbagai macam protein efektor yang mempunyai khasiat antivirus. Berdasarkan studi meta analisis yang melibatkan 875 pasien hepatitis B kronis dengan HbeAg positif: serokonversi HBeAg terjadi pada 18%, penurunan HBV DNA terjadi pada 37% dan normalisasi ALT terjadi pada 23% . Salah satu kekurangan interferon adalah efek samping dan pemberian secara injeksi. Dosis interferon 5-10juta MU 3 kali / minggu selama 16 minggu(4,15).

2.    LAMIVUDIN
Lamivudin merupakan antivirus melalui efek peng- hambatan transkripsi selama siklus replikasi virus hepatitis B. Pemberian lamivudin 100 mg/hari selama 1 tahun dapat menekan HBV DNA, normalisasi ALT, serokonversi HbeAg dan mengurangi progresi fibrosis secara bermakna dibandingkan plasebo(17). Namun lamivudin memicu resistensi. Dilaporkan bahwa resistensi terhadap lamivudin sebesar lebih dari 32% setelah terapi selama satu tahun dan menjadi 57% setelah terapi selama 3 tahun (18). Risiko resistensi terhadap lamivudin meningkat dengan makin lamanya pemberian. Dalam suatu studi di Asia, resistensi genotip meningkat dari 14% pada tahun pertama pemberian lamivudin, menjadi 38%, 49%, 66% dan 69% masing masing pada tahun ke 2,3,4 dan 5 terapi (19).

3.    ADEFOVIR
Adefovir merupakan analog asiklik dari deoxyadenosine monophosphate (dAMP), yang sudah disetujui oleh FDA untuk digunakan sebagai anti virus terhadap hepatitis B kronis. Cara kerjanya adalah dengan menghambat amplifikasi dari cccDNA virus. Dosis yang direkomendasikan untuk dewasa adalah 10 mg/hari oral paling tidak selama satu tahun (13).
 Marcellin et al (2003) melakukan penelitian pada 515 pasien hepatitis B kronis dengan HBeAg positif yang diterapi dengan adefovir 10mg dan 30mg selama 48 minggu dibandingkan plasebo. Disimpulkan bahwa adefovir memberikan hasil lebih baik secara signifikan (p<0,001) dalam hal : respon histologi, normalisasi ALT, serokonversi HBeAg dan penurunan kadar HBV DNA. Keamanan adefovir 10 mg sama dengan plasebo (20).
Hadziyanmis et al memberikan adefovir pada penderita hepatitis B kronis dengan HBeAg negatif. Pada pasien yang mendapatkan 10 mg adefovir terjadi penurunan HBV DNA secara bermakna dibandingkan plasebo, namun efikasinya menghilang pada evaluasi minggu ke 48. Pada kelompok yang medapatkan adefovir selama 144 minggu efikasinya dapat dipertahankan dengan resistensi sebesar 5,9%(21). Kelebihan adefovir dibandingkan lamivudin, di samping risiko resistennya lebih kecil juga adefovir dapat menekan YMDD mutant yang resisten terhadap lamivudin.

4.    PEGINTERFERON
Lauet al (22) melakukan penelitian terapi peginterferon tunggal dibandingkan kombinasi pada 841 penderita hepatitis B kronis. Kelompok pertama mendapatkan peginterferon alfa 2a (Pegasys) 180 ug/minggu + plasebo tiap hari, kelompok ke dua mendapatkan peginterferon alfa 2a (Pegasys) 180 ug/minggu + lamivudin 100 mg/hari dan kelompok ke tiga memperoleh lamivudin 100 mg/hari, selama 48 minggu. Hasilnya pada akhir minggu ke 48, yaitu: (1). Serokonversi HBeAg tertinggi pada peginterferon tanpa kombinasi, yaitu 27%, dibandingkan kombinasi (24%) dan lamivudin tunggal (20%). (2). Respon virologi tertinggi pada peginterferon + lamivudin (86%). (3). Normalisasi ALT tertinggi pada lamivudin (62%). (4). Respon HBsAg pada minggu ke 72 : peginterferon tunggal 8 pasien, terapi kombinasi 8 pasien dan lamivudin tidak ada serokonversi. (5). Resistensi (mutasi YMDD) pada minggu ke 48 didapatlan pada: 69 (27%) pasien dengan lamivudin, 9 pasien (4%) pada kelompok kombinasi, dan (6). Efek samping relatif minimal pada ketiga kelompok. Disimpulkan bahwa berdasarkan hasil kombinasi (serokonversi HBeAg, normalisasi ALT, penurunan HBV DNA dan supresi HBsAg), peginterferon memberikan hasil lebih baik dibandingkan lamivudin.


  
BAB III
KESIMPULAN

1.    Makin dini terinfeksi VHB risiko menetapnya infeksi hepatitis B makin besar.
2.    Diagnosis, evaluasi dan keputusan pemberian terapi anti virus didasarkan pada pemeriksaan serologi, virologi, kadar ALT dan pemeriksaan biopsi hati.
3.    Pasien hepatitis B kronis yang belum mendapatkan terapi (HBeAg positif dan HBV DNA > 10
4.    copies/ml dan kadar ALT normal) dan pasien carrier HBsAg inaktif perlu di evaluasi secara berkala.
5.    Saat ini ada 5 jenis obat yang direkomendasikan untuk terapi hepatitis B kronis, yaitu : interferon alfa-2b, lamivudin, adefovir dipivoxil, entecavir dan peginterferon alfa-2a. Hal yang harus dipertimbangkan sebelum memutuskan pilihan obat adalah keamanan jangka panjang, efikasi dan biaya.



1 komentar:

  1. There are some natural remedies that can be used in the prevention and eliminate diabetes totally. However, the single most important aspect of a diabetes control plan is adopting a wholesome life style Inner Peace, Nutritious and Healthy Diet, and Regular Physical Exercise. A state of inner peace and self-contentment is essential to enjoying a good physical health and overall well-being. The inner peace and self contentment is a just a state of mind.People with diabetes diseases often use complementary and alternative medicine. I diagnosed diabetes in 2010. Was at work feeling unusually tired and sleepy. I borrowed a cyclometer from a co-worker and tested at 760. Went immediately to my doctor and he gave me prescriptions like: Insulin ,Sulfonamides,Thiazolidinediones but Could not get the cure rather to reduce the pain but bring back the pain again. i found a woman testimony name Comfort online how Dr Akhigbe cure her HIV  and I also contacted the doctor and after I took his medication as instructed, I am now completely free from diabetes by doctor Akhigbe herbal medicine.So diabetes patients reading this testimony to contact his email     drrealakhigbe@gmail.com   or his Number   +2348142454860   He also use his herbal herbs to diseases like:SPIDER BITE, SCHIZOPHRENIA, LUPUS,EXTERNAL INFECTION, COMMON COLD, JOINT PAIN, EPILEPSY,STROKE,TUBERCULOSIS ,STOMACH DISEASE. ECZEMA, PROGENITOR, EATING DISORDER, LOWER RESPIRATORY INFECTION,  DIABETICS,HERPES,HIV/AIDS, ;ALS,  CANCER , MENINGITIS,HEPATITIS A AND B,ASTHMA, HEART DISEASE, CHRONIC DISEASE. NAUSEA VOMITING OR DIARRHEA,KIDNEY DISEASE. HEARING  LOSSDr Akhigbe is a good man and he heal anybody that comes to him. here is email    drrealakhigbe@gmail.com    and his Number +2349010754824

    BalasHapus